Sabtu, 28 Januari 2012

Syiah dan Sunni, berbagai kendala untuk bersatu......... MENGAPA.?


Inilah beberapa kendala tsb :

1. Adanya kekuatan diluar Islam yang menginginkan terpecah belahnya islam  dengan memanfaatkan pertikaian yang        sebelumnya memang sudah ada. dan hal ini sangat gampang sekali dengan menelaah masa lalu pasca Rasulullah Muhammad Saw, kemudian pertikaian kecil dari Khulafaur Rasyidin, berlanjut ke perang Jamal, Shiffin dan yang paling parah adalah pada zaman dinasti umayyah yang dilanjutkan dinasti Abassiah. Dikatakan parah karena pada kedua dinasti inilah sesungguhnya terbentuk apa yg sekarang kita kenal dengan Syiah dan Sunni. Yah dizaman kedua dinasti inilah terus menerus dibantainya  ahlulbayt dan para pengikutnya dengan cara-cara biadab.

2. Adanya dendam lama antara kabilah lain dengan bani Hasyim yang penyebabnya adalah tewasnya banyak jagoan-jagoan kafir ketika bertempur dengan pahlawan-pahlawan islam (terutama Sayd. Ali binAbu Thalib yang kemungkinan besar paling menyebabkan dendamnya kaum kafir ketika itu dan keturunannya dikemudian hari). Hal ini dapat diketahui dengan tidak adanya para sahabat muhajirin yang protes kepada Abubakar as-Shiddiq ketika terjadinya pertemuan dibalai banu Sai'dah (Umar al-Khattab meminta para sahabat untuk membaiat Abubakar) padahal mereka (para sahabat tsb) mendengar dengan jelas hadis tsaqalain di ghadir khum.
Hal ini juga ditulis oleh Prof.DR.Ali Ahmad as-Salus dalam bukunya edisi bahasa Indonesia " Ensiklopedia Sunnah - Syiah " terbitan Pustaka Al-Kautsar, Cetakan II hal 43 Pasal Imamah menurut Zaidiyah.." Sebab pada masa itu sarat dengan peperangan kehidupan, yang masih sangat tertanam kuat dalam ingatan orang-orang Quraisy. Terbunuhnya orang kafir Quraisy melalui pedang Ali bin Abi Thalib, hingga timbul dari hati mereka keinginan balas dendam kepadanya. Mereka tidak sepenuh hati condong kepada Ali dan tidak sepenuhnya tunduk kepada pemerintahannya".

3. Taqlid buta pada mazhab yang menjadi paham nenek moyangnya, enggan mempelajari mazhab yang lain, hal ini dapat dilihat dengan hampir seluruhnya muslim di Indonesia adalah bermazhab Syafi'i, mazhab bawaan dari dahulu kala, turun temurun. Walaupun demikian adanya kita harus banyak bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih pada Habib-Habib Alawiyyin yang telah menyebarkan agama islam di-Indonesia (Wali Songo juga termasuk kedalam silsilah Alawiyyin). Coba kita bayangkan jika seandainya kita terlahir (naudzu billahi min dzalik) sebagai nasrani atau Hindu atau Budha atau Atheis,  akankah kita dikaruniai keinginan  mempelajari agama Islam..? atau apakah kita akan mendapat hiayah dari Allh SWT untuk beralih kepercayaan...?

Untuk itulah ada baiknya jamaah ahlus sunnah mempelajari ajaran syiah dari sumber-sumber kompeten dan begitu juga sebaliknya.

Minggu, 08 Januari 2012

IMAM ALI ZAINAL ABIDIN, KEINDAHAN KAUM ‘ABID


IMAM ALI ZAINAL ABIDIN, KEINDAHAN KAUM ‘ABID



Hari Lahir

Pada masa pemerintahan khalifah kedua, Umar bin Khattab, kaum muslimin berhasil menaklukkan negeri Persia (Iran). Atas kemenangan ini, laskar Islam memboyong tawanan-tawanan perang ke Madinah Al-Munawwarah, termasuk di antara mereka putri Yazdijard, Kisra Persia.
Tatkala kaum muslimin berkumpul di masjid, Khalifah Umar bermaksud menjual putri raja tersebut. Namun, Imam Ali as memberi isyarat agar ia tidak melakukan hal itu, mengingat bahwa putri-putri raja tidak boleh diperjualbelikan, sekalipun mereka itu kafir. Lalu beliau mengatakan, "Biarkan dia memilih seorang laki-laki untuk menjadi suaminya. Dan siapa saja yang dipilihnya, maka ia berhak menikah dengannya."
Sang putri raja itu menjatuhkan pilihannya kepada junjungan kita, Imam Husain bin Ali as sebagai pasangan hidupnya. Amirul Mukminin Ali as berwasiat kepada anaknya agar memperlakukannya dengan baik dan santun.
Beliau mengatakan, "Wahai Abu Abdillah (Husain), ketahuilah bahwa dia kelak akan melahirkan sebaik-baik penduduk dunia."
Ya, dari rahim wanita bangsawan inilah putra pertama Imam Husain yang bernama Ali itu lahir. Pernah sang ayah memanggilnya dengan nama Ibn Khairatain (anak dari dua kebaikan), karena dalam nadinya mengalir darah dua bangsa; Arab Quraisy Bani Hasyim dan Ajam Persia.

Perangai Imam Ali Zainal Abidin

Farazdaq, seorang pujangga Arab tersohor pernah melukiskan Imam Ali Zainal Abidin as. Dia adalah lelaki yang tampan. Dari tubuhnya menebar bau harum segar. Pada dahinya terdapat bekas sujud. Karenanya, orang-orang mengenal beliau dengan gelar As-Sajjad (yang banyak bersujud).
Putra beliau, Imam Muhammad Al-Baqir as pernah bercerita, "Sesungguhnya apabila tiba musim dingin, ayahku, Ali bin Husain as menyedekahkan pakaiannya kepada fakir-miskin. Begitu pula jika datang musim panas, beliau melakukan hal yang sama."
Masyhur bahwa Imam Ali Zainal Abidin as senantiasa mencuci dan memakai sebaik-baik pakaian ketika hendak melakukan salat, serta menaburkan wewangian. Orang-orang seringkali menjumpainya memanjatkan doa, munajat, dan menangis.
Salah seorang sahabat beliau bernama Thawus Al-Yamani menuturkan, “Aku melihat seorang laki-laki sedang melakukan salat di Masjidil Haram. Di samping Ka'bah ia berdoa sembari menangis. Kuhampiri ketika ia telah menyelesaikan salatnya. Ternyata dia adalah Ali bin Husain as.
Aku menyapa, ‘Wahai putra Rasulullah, kulihat Anda menangis. Bukankah Anda putra Rasul Allah?!’
Beliau menjawab, ‘Meskipun aku adalah putra Rasul Allah, namun apakah dia akan menjamin keselamatanku dari azab Allah, sedangkan Allah telah berfirman, ‘Ketika itu tidak ada lagi ikatan keluarga antara mereka?
‘Sesungguhnya Allah menciptakan surga bagi siapa saja yang berbakti kepada-Nya dan berbuat baik, sekalipun dia itu seorang hamba Habasyi (berkulit hitam), dan menciptakan neraka bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya dan berbuat buruk, sekalipun dia itu seorang tuan dari Quraisy.’”
Imam Ali Zainal Abidin as telah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah sebanyak 20 kali dengan berjalan kaki.
Kepada para sahabatnya beliau berwasiat supaya menunaikan amanat dan berkata, “Demi Dia yang telah mengutus Muhammad di atas kebenaran! Seandainya pembunuh Husain as mengamanatkan kepadaku sebilah pedang yang telah digunakannya untuk memenggal beliau, sungguh akan kuserahkan kembali kepadanya.”
Imam Ali Zainal Abidin juga mewasiatkan kepada mereka agar berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai hamba yang bekerja guna memenuhi hajat manusia. Merekalah yang beriman pada Hari Kiamat. Maka, barang siapa yang membenamkan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, kelak Allah SWT akan membahagiakan hatinya pada Hari Kiamat.”
Pada suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin as pernah duduk bersama sebagian sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang lelaki dari keturunan bibinya. Lantas ia mencaci makinya dan melontarkan kata-kata kasar. Beliau tidak menjawab sampai lelaki itu menghentikan kata-katanya dan pergi.
Kemudian Imam berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Kalian dengar apa yang dikatakan lelaki tadi? Saya lebih suka kalian bersamaku hingga mendengarkan jawabanku padanya.” Lalu mereka berdiri bersama Imam dan mengira bahwa Imam akan membalas dengan perbuatan yang serupa.
Imam mengetuk pintu orang tersebut. Lelaki itu pun keluar dengan penuh hati-hati dan kesiagaan. Sementara itu, Imam berkata dengan santun, “Wahai saudaraku, sungguh telah kau katakan sesuatu padaku. Seandainya benar apa yang kau katakan, aku memohon ampunan kepada Allah. Namun, jika semua itu tidak benar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu."
Lelaki itu terpengaruh akan budi bahasa beliau. Seketika itu pula ia menyesali perbuatannya, dan Imam mengabulkan permohonan maafnya.
Pada kesempatan lain, Imam Ali zainal Abidin menjenguk Muhammad bin Usamah bin Zaid yang sedang jatuh sakit. Melihat Muhammad menangis, Imam bertanya, “Gerangan apa yang membuatmu menangis?”
Muhammad menjawab, “Aku dililit hutang.”
“Berapa jumlah hutangmu?", tanya Imam.
"15.000 Dinar", jawab Muhammad.
Imam berkata, “Serahkan kepadaku." Lalu beliau melunasi hutang tersebut.
Di tengah malam yang sunyi, Imam Ali Zainal Abidin as keluar kota sambil memikul sejumlah uang dan makanan untuk dibagikan kepada seratus kepala keluarga fakir, sementara mereka tidak mengetahui identitas beliau.
Ketika Imam as meninggal syahid, mereka benar-benar merasakan kehilangan seorang lelaki. Barulah mereka sadar, ternyata orang yang selama ini membagi-bagikan uang dan makanan kepada itu adalah Ali Zainal Abidin as.

Di Karbala

Imam Ali Zainal Abidin as ikut bersama ayahnya, Imam Husain as dalam perjalanannya dari Madinah ke Makkah dan dari Makkah ke Karbala, hingga terjadi tragedi pembantaian yang memilukan itu di sana.
Ketika itu, beliau sedang sakit keras. Setelah menyaksikan ayahnya tinggal sendirian, Dia memaksakan dirinya bangkit dari pembaringannya untuk terjun ke dalam medan peperangan. Akan tetapi, Imam Husain berkata kepada saudarinya Zainab, “Tahanlah dia agar keturunan keluarga Rasulullah saw tidak terputus.”
Sesungguhnya sakit yang menimpa Imam as pada hari-hari itu adalah kemurahan Allah SWT, agar keturunan Rasulullah tetap berlanjut, dan kejahatan serta kebiadaban Yazid tersingkap.

Menjadi Tawanan

Segera setelah Imam Husain as syahid, tentara Ibnu Ziyad menyerang kemah-kemah dan hendak membunuh Imam Ali Zainal Abidin as yang ketika itu berumur 23 tahun. Akan tetapi, sang bibi, Zainab berdiri menghadang mereka dengan penuh keberanian dan berkata, “Jika kalian hendak membunuhnya, maka bunuhlah aku terlebih dahulu." Akhirnya, mereka mengurungkan niat jahat itu, dan merantai tangan Imam serta menggiringnya ke Kufah bersama dengan tawanan lain.
Tatkala mereka beristirahat, Zainab dan Imam as serta para tawanan lainnya dengan penuh keberanian membukakan kekejaman Yazid, Ubaidillah Ibnu Ziyad, dan penghianatan warga Kufah yang hina.
Ketika rombongan tawanan itu tiba di Kufah, masyarakat berkerumun di sekitar mereka. Dalam rangka menunjukkan penentangan, Imam Ali Zainal Abidin as memilih diam sambil menperlihatkan kondisi dirinya yang dirantai, sedangkan darah mengalir dari sikunya.
Di tengah mereka beliau berpidato, “Wahai manusia! Barangsiapa mengenal aku, maka dia telah mengenal aku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku, maka ketahuilah aku adalah Ali bin Husain bin Abi Thalib.
“Aku adalah anak yang diinjak kehormatannya, dirampas haknya, dirampok hartanya, dan ditawan keluarganya. Aku adalah anak yang ayahnya disembelih di Sungai Furat. Aku adalah anak yang ayahnya dibunuh dalam keadaan sabar, dan cukuplah itu sebagai kebanggaan.
“Wahai manusia! Bersumpahlah demi Allah. Masihkah kalian ingat bagaimana kalian telah melayangkan surat dan undangan kepada ayahku lantas kalian sendiri mengkhianatinya. Kalian telah memberikan janji untuk berbaiat lalu kalian membunuhnya.
“Sungguh, celakalah kalian karena perbuatan kalian sendiri! Bagaimana kalian akan berhadapan dengan datukku Rasulullah kelak tatkala beliau mempertanyakan kepada kalian, 'Kalian bunuh keluargaku dan hancurkan kehormatanku. Sungguh kalian tidak termasuk umatku.’”

Di Istana Ubaidillah

Ubaidillah Ibnu Ziyad memerintahkan agar para tawanan diseret menghadapnya. Ia ingin sekali melihat garis-garis kehinaan di raut wajah mereka. Tiba-tiba ia terperanjat. Pandangannya tertusuk tatapan-tatapan mereka yang semua malah menghinakan dirinya, padahal mereka dikelilingi oleh para algojo istana.
Ibnu Ziyad menoleh ke Imam Ali Zainal Abidin as dan berkata, “Siapa namamu?”
Imam menjawab, "Aku Ali bin Husain."
Ibnu Ziyad berkata lagi dengan bengis, "Bukankah Allah telah membinasakan Ali?”
Imam menjawab dengan tegas, “Aku pernah punya kakak bernama Ali yang telah dibunuh oleh segerombol manusia.”
Ibnu Ziyad dengan jengkel menukas, "Allahlah yang telah membunuhnya!"
Imam tanpa rasa gentar membalas, "Allah mematikan jiwa ketika tiba ajalnya, karena setiap jiwa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah."
Ibnu Ziyad semakin berang, lalu memerintahkan untuk membunuh Imam as. Pada saat itulah sang bibi, Zainab bangkit dan berkata lantang, "Hai Ibnu Ziyad! Apakah kau belum puas menumpahkan darah kami? Apakah kau tidak membiarkan salah seorang hidup dari kami? Jika kau hendak membunuhnya, maka biarkanlah aku menyertainya."
Ibnu Ziyad semakin gentar tatkala Imam Ali Zaibal Abidin mengatakan, "Tidakkah kau tahu bahwa perang adalah kebiasaan kami, dan mati syahid adalah kemuliaan kami dari Allah".
Akhirnya, Ibnu Ziyad mengurungkan niatnya dan mengirimkan para tawanan itu ke Syam.

Di Syam (Syiria)

Rombongan tawanan itu tiba di negeri Syam diiringi dengan tangisan pilu menyayat hati, sementara Imam Ali Zaibal Abidin as masih dirantai besi.
Yazid bin Mu‘awiyah memerintahkan untuk menghiasai kota Damaskus sebagai tanda syukur dan puas atas terbunuhnya Imam Husain as. Ia telah menipu warga kota dengan menyebarkan berita bohong dan citra buruk tentang anak keturunan Ali bin Abi Thalib as.
Sesampainya rombongan tawanan di Damaskus, seorang lelaki tua mendatangi Imam Ali Zainal Abidin as dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah membinasakanmu dan memenangkan pemimpin kami!"
Imam as sadar bahwa sesungguhnya lelaki tua itu tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Kepadanya beliau bertanya lembut, "Wahai bapak tua! Apakah engkau membaca Al-Qur'an?"
Lelaki tua itu menjawab, "Iya."
Imam bertanya lagi, "Apakah engkau membaca firman Allah, 'Katakanlah [Muhammad], ‘Aku tidak meminta balasan dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku.’ Dan firman Allah, ‘Penuhilah hak keluarga (Rasul).’ Serta firman Allah, ‘Dan ketahuilah, sesungguhnya pada rampasan perang kalian terdapat seperlima hak Allah SWT, rasul-Nya, dan keluarganya?’
"Iya", jawab lelaki tua itu, "Saya telah membaca ayat-ayat itu."
Lalu Imam as berkata, "Demi Allah, kamilah keluarga Nabi yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut."
Imam melanjutkan pertanyaannya, "Apakah engkau membaca firman Allah, ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan kekotoran (rijz) dari kalian hai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.’?”
Lelaki tua itu menjawab, "Iya."
Imam berkata, "Kamilah Ahlulbait, wahai bapak tua."
Dengan penuh keheranan, lelaki tua bertanya, “Demi Allah, benarkah kalian Ahlulbait?”
Imam menjawab, "Ya, demi kebenaran datuk kami, Rasulullah. Kamilah yang dimaksudkan dalam ayat itu."
Lelaki tua itu akhirnya menerima perkataan Imam. Ia berkata, "Aku berlepas diri kepada Allah dari orang-orang yang telah memerangi kalian."
Ketika berita itu sampai ke telinga Yazid, segera ia memerintahkan algojonya untuk memenggal leher lelaki tua itu.

Di Hadapan Yazid

Yazid memerintahkan agar para tawanan dihadapkan kepadanya dalam keadaan terikat. Sungguh keadaan mereka amat memilukan.
Imam Ali Zaibal Abidin as berkata, "Apa yang akan kau katakan, hai Yazîd, kepada Rasulullah sementara keturunannya dalam keadaan seperti ini?!"
Mendengar itu, orang yang hadir dalam ruangan menangis. Mereka tak kuasa lagi menahan air mata.
Atas perintah Yazid, salah seorang orator naik mimbar dan mulai mencaci-maki dua cucunda Nabi; Hasan dan Husain, dan sebaliknya memuji-muji Mu‘awiyah dan Yazid. Imam as memandangnya dan berkata dengan nada keras, "Celakalah kamu, hai pembicara. Kau telah mencari kesenangan makhluk dengan kemurkaan Allah. Maka, kau telah memilih tempatmu di neraka."
Kemudian Imam as berpaling ke arah Yazid dan berkata, "Apakah engkau mengizinkan aku naik ke mimbar ini? Aku akan mengutarakan sebuah ucapan yang mengandung keridhaan Allah dan menebarkan pahala kepada hadirin di sini."
Yazid menolaknya dan bergumam, "Jikalau dia naik mimbar, dia tidak akan turun kecuali setelah membeberkan kekejamanku serta kejahatan keluarga Abu Sufyân."
Setelah didesak oleh hadirin, akhirnya Yazid mengizinkan Imam untuk berpidato.
Lalu Imam Ali Zainal Abidin as naik mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, beliau berkata, "Wahai manusia, kami telah diberi enam perkara dan diunggulkan dengan tujuh perkara; kami diberi ilmu pengetahuan, kesantunan, kedermawanan, kefasihan bicara, keberanian, dan kecintaan di hati-hati kaum mukmin.
"Kami telah diunggulkan karena di antara kami terdapat Nabi yang termulia, Ali As-Shiddiq yang tepercaya, dan Ja‘far At-Thayyar yang terbang. Pada kamilah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya. Pada kamilah penghulu segenap kaum wanita, dan pada kami pulalah dua cucu mulia umat ini.
"Wahai manusia, barangsiapa mengenalku, maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa tidak mengenalku, akan kuperkenalkan asal-usul keturunanku.
"Aku adalah anak dari Makkah dan Mina (Nabi Ibrahim as). Aku adalah anak air sumur Zamzam dan Shafa (Nabi Ismail as). Aku adalah anak dari orang yang telah diisra’-mikrajkan dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha. Aku adalah anak dari orang yang ditemani Malaikat Jibril ke Sidratul Muntaha (Nabi Muhammad saw). Aku adalah anak dari orang yang dekat dan didekatkan sehingga berada di antara dua sisi atau lebih dekat lagi. Aku adalah anak Muhammad Al-Musthafa. Aku adalah anak Al-Murtadha."
Mulailah Imam Ali Zainal Abidin as menyebutkan silsilah keturunannya yang suci, sampai menjelaskan tragedi pembantaian di Karbala secara rinci. Para hadirin terkejut menyimak kenyataan yang sebenarnya terjadi sehingga ruangan itu bergemuruh dengan isak tangis mereka.
Yazid khawatir akan terjadi perubahan yang merugikan dirinya. Segera dia memberi isyarat kepada muazin untuk mengumandangkan azan guna memotong pembicaraan Imam as.
Muazin mengumandangkan, "Asyhadu alla ilaha illallah."
Imam lalu berkata dengan khusyuk, "Aku bersaksi dengan darah dan dagingku."
Ketika muazin mengumandangkan, "Asyhadu anna Muhammadan Rrasulullah."
Imam as menoleh ke Yazid dan berkata kepadanya, "Muhammad ini, apakah kakekku atau kakekmu? Jika kau katakan bahwa dia adalah kakekmu, maka engkau telah berdusta. Tetapi, jika kau mengakuinya sebagai kakekku, lalu mengapa engkau membunuh keturunannya?"
Ternyata, dialog antara Imam Ali Zainal Abidin as dan Yazid itu menciptakan perubahan besar di tengah masyarakat. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang meninggalkan masjid sebagai cara penentangan mereka terhadap kekejaman pemerintahan Yazid.
Lagi-lagi Yazid kuatir keadaan kota Syam akan bergejolak dan menentangnya. Secepat mungkin ia memerintahkan agar para tawanan dikembalikan ke Madinah.
Kaum muslimin menyesal atas sikap acuh mereka terhadap Imam Husain as ketika mereka melihat kezaliman dan kejahatan Yazid terus berlangsung.
Tak lama kemudian, Yazid mengirimkan pasukan untuk menyerang Madinah Al-Munawwarah. Selama tiga hari dia membolehkan setiap rajuritnya di sana melakukan pembunuhan, penjarahan, dan perampasan kehormatan wanita.
Belum puas memperlakukan Madinah dan warganya, Yazid memerintahkan pasukan untuk mengepung kota Makkah dan menghancurkan Ka’bah dengan lemparan batu dan membakar bagian dalamnya.
Sementara pasukan menghujani Ka’bah dengan batu, Allah membalas perbuatan biadab Yazid hingga mati secara mengenaskan.
Kematian Yazid membuat kedudukan khilafah beralih kepada anaknya yang bernama Mu‘awiyah. Namun, Muawiyah sendiri menolak kedudukan itu, sebab ia menyadari betapa kezaliman yang telah dilakukan ayah dan kakeknya. Ia tahu benar bahwa mereka berdua telah merampas hak kekhilafahan dari pemiliknya yang sah.
Dalam keadaan demikian, Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah, lalu warga Syam membaiatnya.
Sementara di Hijaz, Abdullah bin Zubair memproklamirkan kekhalifahannya. Di sana ia senantiasa menjaga Ka’bah.
Pada tahun 73 H, anak Marwan yang bernama Abdul Malik bersama pasukan besarnya bergerak menuju Makkah dan mengepungnya. Seperti yang sudah dilakukan oleh Yazid, ia pun menghancurkan Ka’bah dengan lemparan batu dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair.
Dalam usaha melanggengkan pemerintahan, tak segan-segan Abdul Malik menggunakan ancaman dan tekanan terhadap siapa saja yang menentangnya.
Ia mengangkat seorang lelaki penumpah darah sebagai gubernurnya di Bashrah dan Kufah, yaitu Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Gubernur ini banyak membuat ladang penjagalan untuk nyawa-nyawa yang tak berdosa, serta mengisi penjara-penjara dengan kaum laki-laki dan—bahkan—perempuan.
Secara khusus, Abdul Malik melakukan pengawasan ketat terhadap Imam Ali Zainal Abidin as. Mata-mata selalu mengintai setiap gerak-gerik beliau.
Sampai akhirnya, dia memerintahkan untuk menangkap Imam as, dan mengirimkan beliau ke pusat kekuasaannya di Syam. Selang beberapa waktu, Abdul Malik membebaskan beliau.

Imam Ali Zainal Abidin dan Hisyam

Abdul Malik meninggal setelah menyerahkan tahta kekhalifahannya kepada Hisyam. Pada suatu hari, Hisyam menunaikan ibadah haji dan tawaf di sekitar Ka’bah. Di sana dia bermaksud untuk mencium Hajar Aswad, namun tidak berhasil karena banyaknya para jemaah haji yang bersesakan.
Kemudian, Hisyam duduk beristirahat sambil menunggu kesempatan, sementara warga Syam berkerumun di sekitarnya. Tiba-tiba datanglah Imam Ali Zainal Abidin as menebarkan bau harum semerbak, lalu tawaf di sekeliling Ka'bah.
Tatkala Imam as sampai di hadapan Hajar Aswad, orang-orang berhenti dengan penuh hormat dan membukakan jalan untuk beliau, sehingga beliau dapat dengan mudah mencium batu hitam itu. Selekas itu, orang-orang kembali melanjutkan tawaf mereka.
Ketika menyaksikan peristiwa tersebut, warga Syam yang tidak mengenal Imam as bertanya-tanya kepada Hisyam tentang siapa gerangan laki-laki tersebut. Dengan berlagak bodoh bercampur rasa kesal, ia menjawab, "Aku tidak mengenalnya."
Farazdaq, penyair yang berada di tengah mereka, tak lagi kuasa menahan rasa hormatnya. Spontan ia melantunkan bait-bait syair yang begitu indah, sebagai jawaban atas ketidaktahuan orang-orang Syam tersebut.
Dialah lelaki yang dikenal Makkah tapak kakinya.
Dikenal Ka'bah, di dalam dan dan di luar tanah Haram.
Dialah putra sebaik-baiknya hamba di antara semua hamba Allah.
Dialah manusia yang bertakwa, tersuci, dan terkemuka.
Dialah putra Fatimah jika kau tak lagi kenal.
Kakeknya adalah penutup segenap nabi Allah.
Imam Ali Zainal Abidin as mengirimkan hadiah kepada Farazdaq sebagai penghargaan atas sikap yang ditunjukkannya dalam bait-bait itu. Ia pun menerima hadiah tersebut dengan berharap mendapatkan berkah darinya.

Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah

Sekilas, Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah adalah sebuah buku kecil kumpulan doa-doa. Tetapi, justru buku kecil itu telah menjadi sumber pengetahuan dan mengajarkan akhlak luhur dan budi pekerti kepada umat manusia. Di samping itu, buku itu mengandung pembahasan Filsafat, Sains, dan persoalan-persoalan Matematika, bahkan juga masalah-masalah politik.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari doa-doa beliau yang tercatat di dalam As-Shahifah As-Sajjadiyyah:
• "Ilahi, aku sungguh berlindung kepada-Mu dari kemalasan, kekecutan, kekikiran, kekhilafan, kekerasan hati, dan keterhinaan."
• "Maha Suci Engkau yang mendengar setiap nafas ikan di dasar laut! Maha Suci Engkau yang mengetahui peredaran purnama dan mentari! Maha Suci Engkau yang mengetahui pergantian kegelapan (malam) dan cahaya (siang)! Maha Suci Engkau ... sungguh aneh orang yang mengenal-Mu, bagaimana mungkin mereka tidak takut kepada-Mu."
Selain terdapat doa-doa di dalam Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah, Imam Ali Zainal Abidin as juga mempunyai doa khusus setiap hari, doa harian dalam seminggu, dan lima belas munajat, dengan irama kata dan kalimat yang indah nan syahdu. Semua itu menunjukkan budi pekerti yang agung dan ketundukkan jiwa Imam as di hadapan Allah SWT.

Risalah Huquq (Hak-hak)

Imam Ali Zainal Abidin as mempunyai sebuah risalah yang dikenal dengan nama Risalah Huquq(Risalah Hak dan Tanggung Jawab). Risalah itu mencakup lima puluh perkara berkenaan dengan tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, dirinya, tetangga, dan teman-teman.
Tentang hak-hak seorang guru beliau mengatakan, "Di antara hak guru yang harus kau penuhi adalah memuliakannya, menghormati kelasnya, dan menyimak pelajarannya dengan seksama .... Janganlah engkau mengeraskan suaramu di hadapannya. Sembunyikanlah segala kekurangannya dan perlihatkanlah segenap kelebihannya."
Berkenaan dengan hak-hak seorang ibu, Imam as mengingatkan, "Adapun hak ibumu, ketahuilah bahwa dia telah mengandungmu, memberimu makan dari buah hatinya (air susunya), dia lebih senang melihatmu kenyang sementara dia menahan lapar, dia memberimu pakaian sementara dia telanjang, dia memberi minum sementara dia dahaga, dan menidurkanmu nyenyak di haribaannya."
Tentang hak-hak tetangga, Imam as menuturkan, "Di antara hak-hak tetanggamu adalah engkau menjaganya ketika ia tidak terlihat, memuliakannya ketika ia berada di sisimu, ... janganlah engkau merasa iri terhadapnya, mengingatkannya ketika tergelincir, dan memaafkan kesalahannya."
Tentang hak-hak kafir dzimmi (orang kafir yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin dan hidup di negara Islam), Imam Ali Zainal Abidin as menjelaskan, “Maka, hukum bagi kaum kafir ialah menerima dari mereka apa yang direstui Allah, dan cukuplah bagi mereka jaminan dan perjanjian yang telah Allah tetapkan untuk mereka. Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, ‘Barangsiapa yang menyalahi janji, aku akan menjadi musuhnya, maka takutlah kepada Allah dan jagalah mereka.’”

Hari Kesyahidan

Pada 25 Muharram 95 H, Imam Ali Zainal Abidin as meninggal dunia sebagai syahid, tak lama setelah Hisyam bin Abdul Malik membubuhkan racun ke dalam makanan beliau. Imam as wafat pada usia 57 tahun dan dimakamkan di Baqi‘, di samping makam pamannya, Imam Hasan bin Ali as.[]

Mutiara Hadis Imam Ali Zainal Abidin as

• “Wahai anakku! Waspadalah terhadap lima macam manusia, dan janganlah kau bersahabat dan seperjalanan dengan mereka:
“Jauhilah bersahabat dengan pendusta, karena dia seperti fatamorgana; mendekatkan sesuatu yang jauh darimu dan menjauhkan sesuatu yang dekat denganmu.
“Jauhilah bersahabat dengan orang fasik, karena dia akan menjualmu dengan sesuap nasi atau selainnya.
“Jauhilah bersahabat dengan orang kikir, karena dia akan membiarkanmu ketika engkau membutuhkannya.
“Jauhilah bersahabat dengan orang dungu (tolol), karena dia akan mencelakakanmu padahal semestinya ia ingin menolongmu.
“Dan jauhilah bersahabat dengan orang yang suka memutuskan silaturahmi, karena aku mendapatinya terlaknat di dalam kitab Allah.”
• Dalam pesannya kepada sang putra, Imam Muhammad Al-Baqir as, Imam Ali Zainal Abidin as mengatakan, “Berbuat baiklah kepada setiap orang yang menuntut kebaikan. Jika ia adalah orang yang berhak menerima kebaikanmu, maka engkau telah melakukan hal yang semestinya. Tapi jika ia tidak berhak menerima kebaikanmu itu, maka engkau sungguh telah berhak mendapatkan kebaikan. Jika seseorang mencacimu dari sebelah kanan dan beralih ke sebelah kiri, lalu meminta maafmu, maka terimalah permintaannya.”

Riwayat Singkat Imam Ali Zainal Abidin as

Nama        : Ali.
Gelar        : Ali Zainal Abidin.
Panggilan : Abu Muhammad.
Ayah         : Husain bin Ali.
Ibu            : Syah Zanan.
Kelahiran : Madinah, 5 Sya’ban 38 H.
Masa Imamah     : 10 Tahun.
Usia          : 57 Tahun
Wafat       : 25 Muharram 95 H.
Makam    : Pemakaman Baqi‘, Madinah.

Rabu, 04 Januari 2012

IMAM HUSAIN ASY-SYAHID, PENGHULU PARA SYAHID

Hari Lahir

Imam Husain as dilahirkan pada 3 Sya’ban 4 Hijriah. Mendengar berita kelahirannya, Rasulullah saw sangat gembira. Beliau bergegas pergi ke rumah putrinya, Fatimah as untuk mengucapkan selamat atas kelahiran putranya itu.
Rasulullah saw membacakan azan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian menamai bayi mungil itu dengan nama Husain.
Pada hari ketujuh dari kelahirannya, Ali bin Abi Thalib membuat acara akikah untuk putranya dan membagikan daging kambing akikahnya kepada orang-orang fakir.
Rasulullah saw sangat mencintai cucunda Husain as. Setelah mendapatkan wahyu tentang apa yang akan terjadi pada cucunda ini di masa yang akan datang, beliau bersedih dan menangis atas kekejaman yang akan menimpanya.
Rasulullah saw bersabda, “Husain dariku dan aku dari Husain." Dialah Imam putra Imam, dan sembilan dari keturunannya akan menjadi imam, dan imam terakhir dari mereka adalah Muhammad Al-Mahdi as. Dia akan muncul di akhir zaman, dan akan memenuhi alam semesta ini dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.

Imam Husain Semasa Ayahnya

Imam Husain as hidup dalam haribaan Rasulullah saw selama 6 tahun. Selama itu, beliau banyak belajar dari akhlak sang datuk yang mulia.
Ketika Rasulullah saw wafat, beliau menjalani kehidupannya bersama ayahnya, Ali as selama 30 tahun. Beliau senantiasa berada di sampingnya dan turut merasakan penderitaannya.
Tatkala Imam Ali as memegang tampuk pemerintahan, Imam Husain as ikut serta mengambil bagian dalam pasukan yang tulus berkorban dan berjihad demi menegakkan panji kebenaran. Ia senantiasa turun dalam berbagai medan peperangan, seperti perang Jamal, perang Shiffin, dan perang Nahrawan.
Dan ketika ayahnya gugur sebagai syahid, Imam Husain as membaiat sang kakak, Hasan as sebagai khalifah, dan mendampingi beliau dalam menghadapi Mu‘awiyah.

Imam Husain as Semasa Mu‘awiyah

Mu‘awiyah meracuni Imam Hasan as, sehingga beliau gugur senasib ayahnya sebagai syahid. Kemudian, tongkat kepemimpinan umat segera dipegang oleh Imam Husain as yang saat itu berusia 46 tahun.
Imam Husain as telah mengetahui bahwa Mu‘awiyah adalah sumber penderitaan umat Islam. Di balik slogan-slogan Islami yang diangkatnya, sesungguhnya dia menghendaki kehancuran agama dan berusaha keras untuk menjauhkan penduduk Syam dari kebenaran-kebenaran Islam dan dari para sahabat Nabi yang ikhlas.
Mu‘awiyah senantiasa menebarkan kebohongan-kebohongan yang bertujuan merusak nama baik Ahlulbait Nabi as. Dia membunuh setiap orang yang menentang pemerintahannya. Dia telah banyak melakukan pembunuhan terhadap sahabat-sahabat Nabi dan sahabat-sahabat setia Imam Ali as. Di antara mereka adalah Hujr bin ‘Ady yang telah dibunuhnya bersama anaknya di daerah Maraj Azra, di luar kota Damaskus.
Mu‘awiyah selalu berupaya mengangkat anaknya, Yazid untuk menduduki kursi kekhalifahan. Padahal ia tahu benar akan perangai bejat Yazid, pemuda yang menghina agama dan mukminin. Dialah seorang pemabuk dan banyak menghabiskan waktunya untuk bermain-main dengan kera-kera.
Imam Husain as memperingatkan Mu‘awiyah akan bahaya yang dia lakukan. Akan tetapi, ayah Yazid itu tidak menghiraukan ucapan siapa pun, dan dia malah mengumumkan niatnya untuk membaiat Yazid.
Dan demikianlah yang terjadi. Mu‘awiyah membaiat si anak menjadi khalifah dan memaksa orang-orang untuk melakukan hal yang sama.

Imam Husain as dan Yazid

Sepeninggal Mu‘awiyah, Yazid menduduki kepemimpinan umat. Pertama yang ia lakukan ialah mengirimkan surat kepada Walid, gubernur Madinah yang berisi perintah untuk mengambil baiat dari Imam Husain as. Dengan surat di tangan, Walid mendatangi beliau dan memaparkan ihwal perintah Yazid di hadapannya.
Imam Husain as telah mengetahui di balik semua itu; Yazid akan mengumumkan bahwa Husain cucu Rasulullah saw telah memberikan baiat kepadanya. Ini akan berarti bahwa kekhalifahan Yazid sudah benar-benar sah. Oleh karena itu, Imam as menolak untuk membaiat seorang fasik seperti Yazid yang hobinya minum khamar dan menginjak-injak hukum Allah SWT.
Menyaksikan penolakan Imam Husain tersebut, Walid mengancam akan membunuhnya bila beliau ternyata menolak baiat kepada Yazid. Namun demikian, Imam as tidak memperdulikan sesuatu pun kecuali demi kemaslahatan Islam, kendati harus mengorbankan nyawanya yang suci.

Undangan Warga Kufah

Kaum muslimin merasakan kegelisahan yang dalam terhadap kezaliman Mu‘awiyah. Mereka mendambakan pemerintahan adil sebagaimana pernah dijalankan oleh Ali bin Abi Thalib dapat kembali berkuasa.
Maka, tatkala warga Kufah mendengar penolakan Imam Husain as terhadap baiat kepada Yazid, mereka mengirimkan surat yang begitu banyaknya kepada beliau, dan mengundang beliau untuk segera datang ke Kufah serta menyelamatkan mereka dari kezaliman Bani Umayyah.
Jumlah surat warga Kufah yang diterima oleh Imam Husain as sebanyak enam belas ribu pucuk. Semua isi surat itu menyatakan desakan mereka kepada beliau, “Datanglah wahai putra Rasulullah saw. Sungguh kami tidak memiliki pemimpin selainmu.”

Duta Imam Husain as

Imam Husain as mengutus anak pamannya, Muslim bin Aqil sebagai duta beliau untuk menjumpai orang-orang Kufah. Melalui tangannyalah beliau mengirimkan surat untuk warga Kufah. Isi surat itu ialah sebagai berikut, “Telah sampai kepadaku surat-surat kalian, dan aku mengerti apa yang kalian nyatakan sebagai ketulusan kalian terhadap kehadiranku di tengah-tengah kalian, dan aku telah mengirimkan seorang utusan kepada kalian. Ia adalah saudaraku, anak pamanku, dan orang tepercaya dari keluargaku, Muslim bin Aqil.”
Sesampainya di Kufah, Muslim mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat di sana. Di hadapannya, lebih dari delapan belas ribu orang menyatakan kesediaan untuk membaiat Imam Husain as.
Kemudian, Muslim melayangkan surat kepada Imam as dan mengabarkan, bahwa penduduk Kufah telah berkumpul dan siap membela kebenaran, serta menolak baiat kepada Yazid. Di dalam surat itu pula ia meminta beliau agar datang ke Kufah secepat mungkin.

Muslim Dibunuh

Sementara itu, Yazid mengawasi apa yang sedang berlangsung di Kufah dengan ketat. Untuk itu, dia telah menentukan seorang gubernur baru untuk kota Kufah yang bernama Ubaidillah ibnu Ziyâd. Ia telah sampai ke Kufah dengan cepat.
Ibnu Ziyad memulai tindakannya di sana dengan melakukan teror, pembunuhan, dan suap. Kemudian berlanjut dengan menakut-nakuti warga kota akan datangnya pasukan dari Syam dalam jumlah yang sangat besar.
Warga Kufah merasa takut dan perlahan-lahan mulai meninggalkan Muslim bin Aqil, hingga ia bertahan sendirian di tengah kepungan pasukan Ibnu Ziyad. Meski begitu, ia tidak mau menyerah dan mengadakan perlawanan seorang diri sampai terluka parah.
Kemudian ia ditangkap dan diseret sebagai tahanan sebelum akhirnya mati syahid di tangan musuh.
Berita dibunuhnya Muslim bin Aqil dan sebagian pembelanya di Kufah telah sampai kepada Imam Husain as. Saat itu beliau dalam perjalanan menuju Kufah. Beliau telah mengetahui bahwa warga kota telah mengkhianatinya.
Kepada para sahabat dan orang-orang yang bergabung bersamanya, beliau mengatakan, “Barang siapa yang ikut bersama kami, maka ia akan mati syahid, dan barang siapa yang berpaling dari kami, sungguh dia tidak akan mencapai kemenangan.”
Imam as sadar sepenuhnya akan jalan yang tengah ditempuhnya. Beliau hanya berpikir akan kewajiban dan tugasnya terhadap Islam dan kaum muslimin.

Tujuan Imam Husain as

Imam Husain as mengumumkan penolakannya membaiat Yazid, karena memang dia sama sekali tidak pantas menduduki kursi kekhalifahan. Dialah seorang yang fasik, peminum arak, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT, dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.
Oleh karena itu, dalam wasiatnya kepada saudaranya, Muhammad bin Hanafiyah, Imam as mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak bangkit untuk membuat kerusakan ataupun kezaliman. Aku hanya bangkit untuk memperbaiki keadaan umat kakekku saw. Aku ingin melakukan amar makruf dan nahi munkar. Aku akan menempuh jalan yang telah ditempuh oleh datukku, Nabi dan ayahku, Ali bin Abi Thalib.”
Imam Husain as mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh di padang Karbala bersama sahabat-sahabat dan keluarganya. Meski demikian, beliau tetap bangkit dalam rangka membangunkan umat Islam dari tidurnya, sehingga mereka tahu kenyataan Mu‘awiyah dan anaknya Yazid yang sebenar-benarnya, bahwa dua orang ini akan melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaannya, walaupun mereka harus membunuh cucu Nabi saw dan menjadikan perempuan-perempuan Ahlul Bait sebagai tawanan.

Imam Husain di Hari Asyura

Pasukan Yazid telah melakukan penghadangan terhadap laju gerak kafilah Imam Husain di sebuah tempat yang bernama Karbala, tidak jauh dari sungai Furat. Mereka mencegah anak-anak kecil dan perempuan-perempuan keluarga Nabi saw untuk mendapatkan air sungai.
Hari ke-10 bulan Muharram, hari yang begitu panas membakar padang Karbala. Di sanalah Imam Husain as mengingatkan orang-orang akan akibat perbuatan yang mereka lakukan.
“Wahai sekalian manusia, kenalilah siapa aku ini! Kemudian kembalilah pada diri kalian masing-masing, dan hujatlah diri kalian itu.
“Sadarlah! Apakah dihalalkan bagi kalian untuk membunuhku dan menodai kehormatanku?
“Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, putra khalifahnya, putra dari putra pamannya, dan putra dari orang pertama yang beriman kepada Allah SWT dan yang membenarkan risalah rasulnya?
“Bukankah Hamzah penghulu para syuhada itu adalah pamanku?
“Bukankah Ja‘far At-Thayyar itu adalah pamanku?
“Tidakkah kalian mendengar kesaksian Rasulullah tentang aku dan kakakku, bahwa dua pemuda ini adalah penghulu para pemuda di surga?”
Warga Kufah sangat mengenal Imam Husain as dengan baik. Hanya saja mereka telah tertipu oleh setan, sehingga mereka mengutamakan kehidupan dunia yang hina bersama Yazid dan Ibnu Ziyad, serta begitu mudahnya meninggalkan Imam as sendirian.
Kepada Imam Husain, mereka mengatakan, “Baiatlah Yazid sebagaimana kami telah membaiatnya.”
Dengan tegas beliau membalas mereka, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan pernah mengulurkan tangan (baiat)-ku kepadanya sebagaimana orang-orang hina mengulurkannya. Aaku tidak akan pernah melarikan diri sebagaimana para budak yang ketakutan.”
Umar Ibnu Sa'd, komandan pasukan Yazid mengeluarkan perintah untuk segera menyerbu pasukan Imam as. Maka, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Lima puluh sahabat beliau berguguran sebagai syahid. Tinggallah beliau bersama sejumlah kecil sahabat dan keluarganya. Mereka semua mengajukan diri, satu persatu, untuk meraih kesyahidan dengan gagah berani, tanpa rasa takut sedikitpun. Karena, mereka yakin bahwa mereka akan mati syahid di jalan Allah dan menjelang surga.
Tatkala seluruh sahabat dan laki-laki keluarganya telah gugur, tinggallah Imam Husain seorang diri. Beliau segera turun ke medan pertempuran. Sebelum meninggalkan keluarga dan menyampaikan perpisahan kepada mereka, beliau meminta mereka untuk bersabar di jalan Allah SWT.
Imam as memacu kudanya dan maju mengoyak ribuan barisan musuh. Di tengah pertempuran yang tak seimbang itu, beliau akhirnya terhempas di atas kerikil-kerikil padang pasir Karbala dan gugur sebagai Sayidus Syuhada, Penghulu Para Syahid.
Merasa belum puas melihat Imam Husain tak bernyawa lagi, Ibnu Ziyad memerintahkan para pasukan berkudanya—yang telah menjual diri mereka dengan kehidupan dunia—untuk menginjak-injak dada beliau. Sepuluh pasukan berkuda melompat dan mulai merobek-robek dada suci itu dengan kaki-kaki kuda mereka.
Setelah itu, Ibnu Sa'd memerintahkan pasukannya untuk membakar kemah-kemah Imam as setelah mereka merampas isinya, lalu menyeret anak-anak dan kaum wanita sebagai tawanan sampai ke Kufah. Di antara mereka adalah Zainab, putri Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Ali Zainal Abidin, putra Imam as.
Zainab as dengan penuh ketegaran maju menghampiri tubuh saudaranya, Imam Husain as, lalu meletakkan kedua tangannya di atas jasad suci itu. Kemudian ia mengangkat kepalanya, menengadah ke atas langit sambil berkata dengan penuh khusyuk dan bangga, “Ya Allah, terimalah dari kami pengorbanan ini!”

Kenapa Kita Mengenang Imam Husain?

Sesungguhnya Imam Husain as telah mempersembahkan segala yang beliau miliki hanya untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin. Beliau telah mengorbankan anak-anak, kaum wanita, dan sahabat-sahabatnya, bahkan dirinya sendiri di jalan Allah SWT.
Beliau mengajarkan kepada manusia tentang kebangkitan untuk menentang segala anea ragam kezaliman dan kerusakan. Beliau habiskan hari-hari akhirnya dengan membaca Al-Qur'an dan ibadah semata-mata karena Allah SWT, sehingga meski di tengah-tengah peperangan pun beliau meminta kepada musuh-musuhnya agar menghentikan peperangan dalam beberapa saat hanya untuk menunaikan salat. Imam as tetap menunaikan salat bersama sahabat-sahabatnya di bawah ribuan panah yang menghujani mereka.
Revolusi dan kebangkitan yang dilakukan Imam Husain as berada di jalan Allah SWT dan dalam rangka mempertahankan Islam. Oleh karena itu, umat Islam akan mengenang beliau selama-lamanya. Mereka mengenang duka-nestapa hari Asyura; hari yang telah menyaksikan penyembelihan biadab yang dilakukan Bani Umayyah terhadap cucunda Nabi dan sebaik-baik warisan hidup Islam.

Kisah Tauladan

Imam Husain as hidup selama 57 tahun. Beliau telah menghabiskan sepanjang usianya itu dengan berbuat baik dan berkhidmat untuk manusia. Beberapa kali beliau menunaikan haji ke Rumah Allah (Ka’bah) dengan berjalan kaki selama berhari-hari.
Pada suatu hari, Imam as berjalan melewati orang-orang miskin yang sedang membentangkan pakaian mereka dan beliau meletakkan potongan-potongan roti di atasnya, kemudian mereka memanggil beliau, “Kemarilah, wahai putra Rasulullah!”
Lantas, beliau duduk dan makan bersama mereka, kemudian membacakan firman Allah SWT,“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan takabbur.”
Selekas itu, Imam as berkata kepada mereka, “Aku telah menyambut undangan kalian, dan kini sambutlah undanganku ini!”
Mereka pun menjawab, “Baik, wahai putra Rasulullah". Maka semua bergegas pergi bersama beliau ke rumah. Di sana beliau menghormati dan memuliakan mereka.
Ketika Imam Ali Zainal Abidin as hendak menguburkan sang ayah, orang-orang melihat bekas-bekas luka lama di punggung beliau. Mereka pun menanyakan hal itu kepadanya. Imam Zainal Abidin menjawab, “Bekas-bekas ini adalah akibat dari gesekan karung di atas punggungnya saat membawa makanan untuk dibagikan kepada wanita-wanita janda, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim.”

Hari Asyura

Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Dahulu kala, hari itu dianggap seperti layaknya hari-hari biasa yang tak ada seorang pun memperingatinya. Namun pada Muharram 61 H, tatkala Imam Husain as syahid tepat di hari itu, hari tersebut menjadi hari yang istimewa dan bersejarah, yang menyimpan peristiwa besar. Umat Islam memperingati Hari Asyura di mana-mana, untuk mengungkapkan bela-sungkawa dan menangis sedih atas musibah dan penderitaan yang menimpa para syuhada di Karbala.
Karbala saat itu adalah gurun sahara yang tidak satu orang pun tinggal di sana. Dengan berlalunya waktu, kini menjadi sebuah kota yang besar dan menjadi pusat keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Di Mesir, dinasti Fatimiyyah mengumumkan Hari Asyura sebagai hari berkabung nasional. Pada hari itu, pasar-pasar di sana libur dan orang-orang memilih berkumpul di makam Sayidah Zainab as untuk mengenang tragedi Karbala sambil bercucuran air mata.
Di zaman kita sekarang, pendiri negara Islam di Iran mengumumkan Hari Asyura sebagai hari libur resmi negara.
Begitu juga umat Islam di negara-negara lain, seperti Irak, India, Pakistan, dan negara-negara Islam lainnya. Mereka juga turut memperingati perjuangan Imam Husain as pada Hari Asyura itu.
Nyatanya, peringatan Asyura senantiasa menciptakan perubahan, dari tahun ke tahun. Di Iran, masyarakat menyambut perjuangan dan pengorbanan Imam Husain as hingga mampu melakukan revolusi besar dalam menumbangkan pemerintahan yang zalim dan menggantikannya dengan pemerintahan Islam.

Siapakah Yang Menang?

Sebagian orang beranggapan bahwa Imam Husain as telah menderita kekalahan dalam pertempurannya melawan pasukan Yazid bin Mu‘awiyah. Akan tetapi, tatkala kita cermati lembaran-lembaran sejarah, kita akan menyaksikan bahwa Imam Husainlah yang sesungguhnya menang atas musuh-musuhnya. Karena, tujuan-tujuan kebangkitan dan kesyahidan beliau senantiasa hidup di dalam sanubari setiap manusia.
Pernahkah kita bertanya, di mana Yazid sekarang? Di mana Ibnu Ziyad sekarang? Bahkan Mu‘awiyah sendiri, di manakah dia?
Ya, mereka semua telah pergi dan tidak ada yang mengenangnya. Kalau pun ada yang menyebut nama mereka, sebutan itu hanya berupa kutukan dan laknat atas kejahatan mereka.
Orang-orang pendengki selalu berupaya menghancurkan Imam Husain as. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki beliau abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, laknat di dunia dan neraka di akhirat merupakan nasib musuh-musuh beliau.
Demikianlah, tragedi Karbala sungguh telah menjadi pilar bagi kebangkitan, kebebasan, dan kemenangan darah di atas pedang.[]

Mutiara Hadits Imam Husain

• "Aku tidak melihat kematian melainkan kebahagiaan, sedang hidup bersama orang-orang zalim adalah kehinaan."
• "Manusia telah menjadi budak dunia, sedangkan agama hanya pengakuan lisan belaka. Selagi agama memakmurkan kehidupannya, mereka akan memegangnya. Namun, bila mereka ditimpa musibah, betapa sedikitnya mereka yang teguh."
• Kepada putranya Ali Zainal Abidin as, Imam Husain as berkata, “Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah."
• "Sesungguhnya ada sebagian orang yang beribadah kepada Allah karena mengharap rahmat Allah, dan yang demikian itu adalah ibadah pedagang. Ada pula yang menyembah Allah karena takut akan siksa-Nya, dan yang demikian itu adalah ibadah para budak. Dan ada pula yang beribadah kepada Allah karena berterima kasih kepada-Nya, dan yang demikian itu adalah ibadah orang merdeka, dan inilah ibadah yang paling utama."

Riwayat Singkat Imam Husain

Nama        : Husain.
Gelar        : Sayyidus Syuhada.
Panggilan : Aba Abdillah.
Ayah         : Ali bin Abi Thalib.
Ibu            : Fatimah Az-Zahra’.
Kelahiran : Madinah, 3 Sya’ban 4 H.
Masa Imamah     : 10 tahun.
Usia          : 57 tahun.
Kesyahidan          : 10 Muharram 61 H.
Makam    : Karbala, Irak.

disunting dari www.AL-SHIA.ORG

Senin, 02 Januari 2012

SYIAH : MAZHAB KELIMA ISLAM

Senin, 2 Januari 2012
JAKARTA (Suara Karya): Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak pernah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Syiah sesat. Syiah adalah pilihan dalam memeluk Islam. Hak asasi orang memeluk Syiah harus dilindungi. Karena itu, perlu hati-hati tentang kemungkinan adanya desain mengadu domba di balik kasus pembarakan pesantren Syiah di Madura, pekan lalu.
Demikian benang merah pernyataan Ketua MUI Umar Shihab, Sekretaris PW Ansor Jawa Timur Imron Rosyadi Hamid, dan Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Andy Irfan J secara terpisah, kemarin.
Demikianlah pula univ.al-Azhar Kairo – Mesir juga telah menjadikan Mazhab Syiah kurikulumnya selain 4 mazhab yang lain. Sungguh jika kita sebagai umat islam yang mengaku sebagai “ahlus sunnah wal jamaah” jka pada satu saat sholat berjamaah dengan jamaah  syiah maka perbedaan a.l hanya :
·         Bacaan Basmalah secara jahar walaupun dalam sholat yang seharusnya siir (hanya bacaan basmalah saja).
·         Tidak ada perkataan amin dari ma’mum setelah imam selesai membaca al-Fatihah ( karena kata amin bukan ayat al-Fatihah tapi adalah perkataan manusia, sehingga membatalkan sholat).
·         Jamaah syiah tidak bersedekap tangan.
·         Ada bacaan qunut di rakaat kedua sebelum rukuk di setiap sholat (bukan hanya subuh saja).
Jika ditelaah dari fiqih 4 mazhab sunnah wal jammah maka perbedaan tidak lebih banyak dari 4 mazhab ahlu sunnah itu.
Sungguh umat islam Indonesia yang mayoritas adalah ahlu sunnah wal jamaah harus lebih berfikir jernih, jangan mudah terpancing sehingga kelak tidak menyesal di hari pengailan Allah SWT yang hari dimana tidak diterima penyesalan dan tobat.
Untuk anda yang akan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tak ada salahnya mengikuti salah satu dari 5 mazhab yang ada dan seperti yang telah difatwakan oleh MUI bahwa Syiah bukanlah aliran sesat.